Secara teoritis, terdapat tiga model teori etika
lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics,
Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga
teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan
ekosentrisme.(Sony Keraf: 2002)
Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah
kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga
filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika
hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan,
manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang
dianggap relevan dalam pertimbangan moral, yang dilihat dalam istilah
Frankena--sebagai satu-satunya moral patient (William K. Frankena:1979).
Akibatnya, secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik
sebanyak mungkin bagi spesies manusia dan dihindari akibat buruk
sebanyak mungkin bagi spesies itu. Etika antroposentrisme ini dalam
pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology (kepedulian
lingkungan yang dangkal).
Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika
biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme,
manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia
pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis.
Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai
suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung
satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik
semua makhluk hidup dan "memandang manusia tak lebih dari satu untaian
dalam jaringan kehidupan".(Fritjof Capra:1997)
Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda
dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme,
pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada
seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara
ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait
satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak
hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral
yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang
sekarang ini dikenal sebagai Deep Ecology. Sebagai istilah, Deep Ecology
pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia,
pada 1973. di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut
seluruh komunitas ekologis.
Etika ini dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah
gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus
diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika ini menyangkut suatu
gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekadar sesuatu yang
instrumental dan ekspansionis sebagaimana ditemukan pada
antroposentrisme dan biosentrisme. Dengan demikian, Deep Ecology lebih
tepat disebut sebagai sebuah gerakan diantara orang-orang yang sama,
mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan alam, dan sama-sama
memperjuangkan isu lingkungan dan politik.
Akar gerakan Deep Ecology telah ditemukan pada teori ekosentrisme pada
umumnya dan kritik sosial dari Henry David Thoureau, John Muir, D.H.
Lawrence, Robinson Jeffers, dan Aldo Huxley. Pengaruh Taoisme,
Fransiskus Asisi, Zen Budhisme, dan Barukh Spinoza juga sangat kuat
dalam teori-teori dan gerakan Deep Ecology (George Session:1995)
Bagaimanapun keseluruhan organisme kehidupan di alam ini layak dan harus
dijaga. Krisis alam yang terasa begitu mengkhawatirkan akan membawa
dampak pada setiap dimensi kehidupan ini. Ekosentrisme tidak menempatkan
seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang hierarkis. Melainkan
sebuah satu kesatuan organis yang saling bergantung satu sama lain.
Sebuah jaring-jaring kehidupan yang harmonis.
Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya
dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam
kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung
atau tidak langung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang
mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam
semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang
dan demi kepentingan manusia.
Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana
bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi
pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya
sendiri
Biosentrisme dan Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan
biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja
karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas
pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan
etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan
etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme,
konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biosentrism), seperti
tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas
untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism)
materi referensi: